Lima Kendala Co-Firing Biomassa untuk Dorong Transisi Energi

Nadya Zahira
5 September 2023, 15:32
Biomassa
Katadata
Ilustrasi Biomassa

Pemerintah mendorong pelaksanaan co-firing biomassa sebagai jalan untuk segera merealisasikan transisi ke energi bersih. Namun, terdapat sejumlah persoalan dalam pelaksanaannya. Berikut daftar permasalahan yang muncul dalam implementasi co-firing biomassa. 

Co-firing biomassa merupakan skema mencampur biomassa dengan batu bara, sehingga penggunaan batu bara sebagai bahan baku pembangkit listrik dapat dikurangi secara berkelanjutan

Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur, Sonny Widyagara Nadar mengatakan, kehadiran program co-firing sangat baik karena mampu mengurangi emisi karbon sekaligus memproduksi energi bersih sebesar 575,4 GWh pada awal 2023.

“Angka tersebut berdasarkan catatan dari PLN pada awal 2023. Selain itu juga berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 570 ribu ton CO2 dengan memanfaatkan biomassa sebanyak 542 ribu ton,” ujar Sonny dalam acara Worshop Jelajah Energi Kalimantan Timur, Selasa (5/9)

Dia mengatakan, pengadaan biomassa dari co-firing yang telah dilaksanakan juga telah menyerap tenaga kerja sekitar 1.300 orang. Menurut dia, transisi energi berkelanjutan yang dilakukan secara meluas akan membuka lapangan kerja baru dan kesempatan ekonomi, sehingga dapat mendukung pemulihan global. 

“Jika implementasi co-firing biomassa diperluas, maka bisa membuka lapangan kerja lebih luas lagi, pengangguran juga bisa berkurang,” kata dia. 

Namun demikian, implementasi co-firing biomassa tentunya tidak luput dengan sejumlah masalah di dalamnya. 

Permasalahan dalam pelaksanaan co-firing biomassa yaitu sebagai berikut:

1. Pasokan yang tidak stabil

Sonny mengatakan, pasokan yang tidak stabil merupakan permasalahan yang sering terjdi dalam penggunaan co-firing biomassa. Pasalnya sistem co-firing biomassa salah satunya menggunakan kayu, dan proses penanaman kembali pohon untuk menggantikan kayu sebagai bahan baku co-firing membutuhkan waktu yang lama dan tidak sebentar. 

Dengan begitu, membuat tingkat konsumsi yang digunakan dalam metode co-firing tidak sebanding dengan ketersediaan bahan dari pohon.

“Misalnya yakni kita membakar kayu aja, itu sejam dia sudah kebakar. Tapi ketika kita menanam kayu untuk jadi hal yang sama itu tumbuhnya akan lama. Maknnya dia punya pasokan yang tidak stabil,” ujarnya.

2. Harga yang semakin tinggi

Dia menyebutkan, masalah selanjutnya yakni harga yang semakin tinggi. Adanya kebijakan dari PLN, ataupun dari internasional yang mengedepankan co-firing, akhirnya membuat demandnya menjadi tinggi. Namun supplynya rendah. 

Halaman:
Reporter: Nadya Zahira
Editor: Lavinda
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...